Profil
- Nama Resmi: Provinsi Jambi
- Ibukota: Jambi
- Luas Wilayah: 50.058,16 km2 *)
- Jumlah Penduduk: 3.406.178 jiwa *)
- Suku Bangsa: Melayu, Kubu, Kerinci, dll.
- Agama: Islam: 98,4%, Kristen: 1,1%, Budha: 0,36%, Hindu : 0,117%
- Wilayah Administrasi: Kab.: 9, Kota : 2, Kec.: 138, Kel.: 163, Desa : 1.398 *)
- Lagu Daerah: Injit-injit Semut dan Pinang Muda
- Website: http://www.jambiprov.go.id
Sejarah
Dengan berakhirnya masa kesultanan Jambi menyusul gugurnya Sulthan Thaha Saifuddin tanggal 27 April 1904 dan berhasilnya Belanda menguasai wilayah-wilayah Kesultanan Jambi, maka Jambi ditetapkan sebagai Karesidenan dan masuk ke dalam wilayah Nederlandsch Indie. Residen Jambi yang pertama O.L Helfrich yang diangkat berdasarkan Keputusan Gubernur Jenderal Belanda No. 20 tanggal 4 Mei 1906 dan pelantikannya dilaksanakan tanggal 2 Juli 1906.
Masa terus berjalan, banyak pemuka masyarakat yang ingin keresidenan Jambi untuk menjadi bagian Sumatera Selatan dan dibagian lain ingin tetap bahkan ada yang ingin berdiri sendiri. Terlebih dari itu, Kerinci kembali dikehendaki masuk Keresidenan Jambi, karena sejak tanggal 1 Juni 1922 Kerinci yang tadinya bagian dari Kesultanan Jambi dimasukkan ke keresidenan Sumatera Barat tepatnya jadi bagian dari Kabupaten Pesisir Selatan dan Kerinci (PSK)
Kendati dejure Provinsi Jambi di tetapkan dengan UU Darurat 1957 dan kemudian UU No. 61 tahun 1958 tetapi dengan pertimbangan sejarah asal-usul pembentukannya oleh masyarakat Jambi melalui BKRD maka tanggal Keputusan BKRD 6 Januari 1957 ditetapkan sebagai hari jadi Provinsi Jambi, sebagaimana tertuang dalam Peraturan Daerah Provinsi Djambi Nomor. 1 Tahun 1970 tanggal 7 Juni 1970 tentang Hari Lahir Provinsi Djambi.
- O.L. Helfrich (1906-1908)
- A.J.N Engelemberg (1908-1910)
- Th. A.L. Heyting (1910-1913)
- AL. Kamerling (1913-1915)
- H.E.C. Quast (1915 – 1918)
- H.L.C Petri (1918-1923)
- C. Poortman (1923-1925)
- G.J. Van Dongen (1925-1927)
- H.E.K Ezerman (1927-1928)
- J.R.F Verschoor Van Niesse (1928-1931)
- W.S. Teinbuch (1931-1933)
- Ph. J. Van der Meulen (1933-1936)
- M.J. Ruyschaver (1936-1940)
- Reuvers (1940-1942)
- Tahun 1942 – 1945 Jepang masuk ke Indonesia termasuk Jambi
- Dr. Segaf Yahya (1945)
- R. Inu Kertapati (1945-1950)
- Bachsan (1950-1953)
- Hoesin Puang Limbaro (1953-1954)
- R. Sudono (1954-1955)
- Djamin Datuk Bagindo (1954-1957) – Acting Gubernur
Pembentukan propinsi diperkuat oleh Keputusan Dewan Menteri tanggal 1 Juli 1957, Undang-Undang Nomor 1 /1957 dan Undang-Undang Darurat Nomor 19/1957 dan mengganti Undang-Undang tersebut dengan Undang-Undang Nomor 61/1958.
Logo
Provinsi memiliki sebuah logo atau lambang yang didominasi oleh warna kuning. Adapun wujudnya seperti gambar di bawah ini:
Makna Logo
Logo Jambi memiliki makna atau arti tersendiri, selengkapnya sebagai berikut:
- Bidang dasar persegi lima : Melambangkan jiwa dan semangat PANCASILA Rakyat Jambi.
- Enam lobang mesjid dan satu keris serta fondasi mesjid dua susun batu diatas lima dan dibawah tujuh : Melambangkan berdirinya daerah Jambi sebagai daerah otonom yang berhak mengatur rumah tangganya sendiri pada tanggal 6 Januari 1957.
- Sebuah mesjid : Melambangkan keyakinan dan ketaatan Rakyat Jambi dalam beragama.
- Keris Siginjai : Keris Pusaka yang melambangkan kepahlawanan Rakyat Jambi menentang penjajahan dan kezaliman menggambarkan bulan berdirinya Provinsi Jambi pada bulan Januari.
- Cerana yang pakai kain penutup persegi sembilan : Melambangkan Keiklasan yang bersumber pada keagungan Tuhan menjiwai Hati Nurani.
- GONG : Melambangkan jiwa demokrasi yang tersimpul dalam pepatah adat “BULAT AIR DEK PEMBULUH, BULAT KATO DEK MUFAKAT”.
- EMPAT GARIS : Melambangkan sejarah rakyat Jambi dari kerajaan Melayu Jambi hingga menjadi Provinsi Jambi.
- Tulisan yang berbunyi: “SEPUCUK JAMBI SEMBILAN LURAH” didalam satu pita yang bergulung tiga dan kedua belah ujungnya bersegi dua melambangkan kebesaran kesatuan wilayah geografis 9 DAS dan lingkup wilayah adat dari Jambi : “SIALANG BELANTAK BESI SAMPAI DURIAN BATAKUK RAJO DAN DIOMBAK NAN BADABUR, TANJUNG JABUNG”.
Kebudayaan
Berdasarkan cerita rakyat setempat, nama Jambi berasal dari perkataan “jambe” yang berarti “pinang”. Nama ini ada hubungannya dengan sebuah legenda yang hidup dalam masyarakat, yaitu legenda mengenai Raja Putri Selaras Pinang Masak, yang ada kaitannya dengan asal-usul provinsi Jambi.
Penduduk asli Provinsi Jambi terdiri dari beberapa suku bangsa, antara lain Melayu Jambi, Batin, Kerinci, Penghulu, Pindah, Anak Dalam (Kubu), dan Bajau. Suku bangsa yang disebutkan pertama merupakan penduduk mayoritas dari keseluruhan penduduk Jambi, yang bermukim di sepanjang dan sekitar pinggiran sungai Batanghari.
Suku Kubu atau Anak Dalam dianggap sebagai suku tertua di Jambi, karena telah menetap terlebih dahulu sebelum kedatangan suku-suku yang lain. Mereka diperkirakan merupakan keturunan prajurit-prajurit Minangkabau yang bermaksud memperluas daerah ke Jambi. Ada sementara informasi yang menyatakan bahwa suku ini merupakan keturunan dari percampuran suku Wedda dengan suku Negrito, yang kemudian disebut sebagai suku Weddoid.
Orang Anak Dalam dibedakan atas suku yang jinak dan liar. Sebutan “jinak” diberikan kepada golongan yang telah dimasyarakatkan, memiliki tempat tinggal yang tetap, dan telah mengenal tata cara pertanian. Sedangkan yang disebut “liar” adalah mereka yang masih berkeliaran di hutan-hutan dan tidak memiliki tempat tinggal tetap, belum mengenal sistem bercocok tanam, serta komunikasi dengan dunia luar sama sekali masih tertutup.
Suku-suku bangsa di Jambi pada umumnya bermukim di daerah pedesaan dengan pola yang mengelompok. Mereka yang hidup menetap tergabung dalam beberapa larik (kumpulan rumah panjang beserta pekarangannya). Setiap desa dipimpin oleh seorang kepala desa (Rio), dibantu oleh mangku, canang, dan tua-tua tengganai (dewan desa). Mereka inilah yang bertugas mengambil keputusan yang menyangkut kepentingan hidup masyarakat desa.
Strata Sosial masyarakat di Jambi tidak mempunyai suatu konsepsi yang jelas tentang sistem pelapisan sosial dalam masyarakat. Oleh sebab itu jarang bahkan tidak pernah terdengar istilah-istilah atau gelar-gelar tertentu untuk menyebut lapisan-lapisan sosial dalam masyarakat. Mereka hanya mengenal sebutan-sebutan yang “kabur” untuk menunjukkan status seseorang, seperti orang pintar, orang kaya, orang kampung dsb.
Pakaian Pada awalnya masyarakat pedesaan mengenal pakaian sehari-hari berupa kain dan baju tanpa lengan. Akan tetapi setelah mengalami proses akulturasi dengan berbagai kebudayaan, pakaian sehari-hari yang dikenakan kaum wanita berupa baju kurung dan selendang yang dililitkan di kepala sebagai penutup kepala. Sedangkan kaum pria mengenakan celana setengah ruas yang menggelembung pada bagian betisnya dan umumnya berwarna hitam, sehingga dapat leluasa bergerak dalam melakukan pekerjaan sehari-hari. Pakaian untuk kaum pria ini dilengkapi dengan kopiah.
Kesenian di Provinsi Jambi yang terkenal antara lain Batanghari, Kipas perentak, Rangguk, Sekapur sirih, Selampit delapan, Serentak Satang.
Upacara adat yang masih dilestarikan antara lain Upacara Lingkaran Hidup Manusia, Kelahiran, Masa Dewasa, Perkawinan, Berusik sirih bergurau pinang, Duduk bertuik, tegak betanyo, ikat buatan janji semayo, Ulur antar serah terimo pusako dan Kematian.
Filsafat Hidup Masyarakat Setempat:
Sepucuk jambi sembilan lurah, batangnyo alam rajo.