Dengan demikian, pemerintah harus menanggung beban utang yang cukup besar. Akibatnya, kepercayaan dunia internasional mulai menurun. Tindakan para spekulan valuta asing baik dari dalam maupun luar negeri semakin memperburuk krisis ekonomi Indonesia. Krisis moneter yang akhirnya berdampak pada krisis ekonomi mengakibatkan hancurnya sistem fundamental perekonomian Indonesia.
Salah satu sebab krisis ekonomi adalah adanya utang luar negeri yang sangat besar, dengan perincian utang negara 65 miliar dolar AS dan utang swasta 78 miliar dolar AS. Hasil pembangunan selama pemerintahan Orde Baru masih tidak sepadan dibanding dengan banyaknya utang luar negeri.
Namun demikian, pemerintah hanya mengakui bahwa utang luar negeri tidak sebesar yang diperkirakan. Hal itu tergambar dari laporan berikut.
Sampai pada bulan Februari 1998 utang luar negeri tercatat sebagai haiku:
Data tersebut diperoleh dari pernyataan Ketua Tim Hutang-Hutang Luar Negeri Swasta (HLNS) Radius Prawiro seusai sidang Dewan Pemantapan Ketahanan Ekonomi dan Keuangan (DPKEK) yang dipimpin oleh Presiden Soeharto di Bina Graha (6 Februari 1998).
Pada tahun 1998 terjadi krisis moneter di Indonesia, nilai tukar rupiah terhadap dolar AS dan mata uang asing lain jatuh. Bahkan kurs rupiah terhadap dolar AS mencapai Rp 16.000,00. Akibatnya utang luar negeri Indonesia semakin tidak dapat dibayar. Kepeccayaan luar negeri terhadap Indonesia semakin menipis.
Perdagangan luar negeri semakin sulit karena barang dari luar negeri menjadi sangat mahal harganya. Pedagang luar negeri tidak percaya kepada para importir Indonesia yang dianggapnya tidak akan mampu membayar barang dagangan mereka. Hampir semua negara tidak mau menerima letter of credit (L/C) dari Indonesia. Hal tersebut juga disebabkan oleh sistem perbankan di Indonesia yang tidak sehat, karena adanya kolusi dan korupsi.
Pemerintah Orde Baru berusaha menjadikan negara Republik Indonesia sebagai negara industri, tanpa mempertimbangkan dengan seksama kondisi riil masyarakat. Masyarakat Indonesia masih agraris dan pendidikan masih rendah, sehingga akan sangat sulit untuk segera berubah menjadi masyarakat industri.
Akibatnya, yang terpacu hanyalah masyarakat kelas ekonomi atas, para orang kaya yang kemudian menjadi konglomerat. Meskipun Gross National Product (GNP) pada masa Orde Baru pernah mencapai di atas US$1000 tetapi GNP tersebut tidak menggambarkan pendapatan rakyat sebenarnya, karena uang yang berada sebagian besar dipegang oleh orang kaya dan konglomerat. Kehidupan rakyat secara umum masih sangat miskin, bahkan kesenjangan sosial ekonomi semakin besar.
Pengaturan perekonomian pada masa pemerintahan Orde Baru sudah menyimpang dari sistem perekonomian Pancasila, seperti yang diatur dalam Pasal 33 UUD 1945 ayat 1, 2, dan 3.
Dalam penjelasan UUD 1945 Pasal 33 disebutkan: ”Dalam Pasal 33 tercantum dasar demokrasi ekonomi, produksi dikerjakan oleh semua untuk semua di bawah pimpinan atau penilikan anggota-anggota masyarakat. Kemakmuran masyarakat ditafsirkan bukan sebagai kemakmuran orang perorang. Oleh sebab itu, perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar asas kekeluargaan. Bangunan perusahaan yang sesuai dengan itu adalah koperasi.
Yang terjadi pada masa pemerintahan Orde Baru adalah berkembangnya ekonomi kapitalistis yang dikuasai para konglomerat dengan berbagai bentuk monopoli, oligopoli, korupsi, dan kolusi.
Korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN) yang menggejala pada masa pemerintahan Orde Baru ikut menyebabkan runtuhnya perekonomian Indonesia. Korupsi yang menggerogoti keuangan negara, kolusi yang merusak tatanan hukum, dan nepotisme yang memberikan perlakuan istimewa terhadap kerabat dan kawan menjadi pemicu lahirnya reformasi di Indonesia.
Walaupun praktek KKN ini telah merugikan banyak pihak, khususnya negara tetapi pelanggaran ini tidak dapat dihentikan karena di belakangnya ada suatu kekuatan yang tidak tersentuh oleh hukum. KKN terjadi pada lebih kurang satu setengah dekade terakhir masa pemerintahan Orde Baru.
Pemerintah Orde Baru menjalankan politik sentralistik. Semua bidang kehidupan berbangsa dan bernegara diatur secara sentral dari pusat pemerintahan di Jakarta. Dalam bidang politik, ekonomi, dan sosial budaya, peran pemerintah pusat amat menentukan. Sebaliknya, pemerintah daerah tidak diberi peran yang signifikan. Yang amat mencolok adalah di bidang ekonomi.
Sebagian besar kekayaan dari daerah diangkut ke pusat. Pemerintah daerah tidak dapat berbuat banyak karena dominasi pusat terhadap daerah amat kuat. Masalah pembagian kekayaan yang tidak adil itulah yang kemudian menimbulkan ketidakpuasan pemerintah dan rakyat di daerah. Akhirnya, mereka menuntut berpisah dari pemerintah pusat dan itu terjadi di daerah-daerah yang kaya akan sumber daya alam, seperti Aceh, Riau, Kalimantan Timur, dan Irian Jaya.
Politik sentralisasi juga bisa dilihat dengan adanya pola pemberitaan pers yang Jakarta sentris. Selama lebih dari dua dekade terjadi banjir informasi dari Jakarta (pusat) dan sekaligus dominasi opini dari pusat. Banjir informasi dari pusat segera dapat dilihat pada pola pemberitaan pers yang cenderung bias Jakarta, terutama di halaman pertama. Kecenderungan Jakarta sentris juga sangat mewarnai pola pemberitaan di halaman pertama pers di daerah.
Jakarta agaknya dipandang menjadi pusat informasi penting yang bernilai berita tinggi. Berbagai peristiwa yang berlangsung di Jakarta atau melibatkan tokoh dari Jakarta senantiasa dianggap sebagai peristiwa penting dan berhak menempati halaman pertama, dan seringkali menjadi berita utama. Peristiwa yang terjadi di daerah yang kurang kaitannya dengan kepentingan pusat biasanya kalah bersaing dengan berita-berita yang terjadi di Jakarta dalam berebut ruang, halaman, kendatipun itu pers di daerah.
Gejala-gejala krisis politik pada masa Orde Baru bermula ketika situasi politik di tanah air semakin memanas. Hal itu antara lain ditandai dengan kemenangan mutlak Golongan Karya (Golkar) dalam pemilihan umum (pemilu) tahun 1997 yang dinilai penuh kecurangan. Golkar sebagai satu-satunya partai yang jelas-jelas didukung secara ekonomis finansial maupun secara politik oleh pemerintah memenangkan pemilu dengan meraih suara mayoritas.
Kebijaksanaan pemerintah di dalam bidang politik selalu menguntungkan Golkar dan merugikan partai politik. Mayoritas tunggal (single majority) dengan kemenangan Golkar adalah demi kelangsungan pembangunan nasional.
Kemenangan Golkar dinilai oleh para pengamat politik di Indonesia dan para peninjau asing sebagai pemilu yang pelaksanaannya tidak jurdil (jujur dan adil), penuh ancaman, dan intimidasi terhadap massa pemilih di pedesaan. Meskipun demikian, Golkar tetap jalan terus. Kemenangan Golkar diikuti oleh munculnya dukungan kepada Jenderal Purnawirawan Soeharto selaku ketua dewan pembina Golkar untuk dicalonkan kembali sebagai presiden pada sidang umum Majelis Permusyawaratan Rakyat tahun 1998.
Dewan Perwakilan Rakyat dan Majelis Permusyawaratan Rakyat hasil pemilu 1997 yang baru dilantik pun mendukung Soeharto menjadi presiden untuk periode 1998 sampai dengan 2003. Hal itu tercermin dari dukungan semua fraksi yang ada di DPR maupun fraksi di MPR yang mengangkat Soeharto kembali menjadi presiden.
Demokrasi yang tidak dilaksanakan dengan semestinya telah menimbulkan permasalahan politik. Kedaulatan rakyat hanya di tangan kelompok tertentu, bahkan lebih banyak dipegang oleh para penguasa. Dalam UUD 1945 Pasal 2, disebutkan bahwa kedaulatan adalah di tangan rakyat, dan dilakukan sepenuhnya oleh MPR. Hal tersebut dilaksanakan secara de jure tetapi secara de facto yang menjadi anggota MPR sudah diatur dan direkayasa sehingga sebagian besar anggotanya diangkat dengan sistem keluarga (nepotisme).
Dengan sistem itu maka anak, istri, famili dari para pejabat tinggi kebanyakan bisa menjadi anggota MPR. Bahkan gubernur dan istri-istrinya pun bisa menjadi anggota MPR. Oleh karena itu dengan sistem yang demikian, dalam keanggotaan DPR dan MPR segalanya dapat diatur, tergantung kepada penguasa.
Hal tersebut mengakibatkan rasa ketidakpercayaan kepada pemerintah, DPR, dan MPR sehingga memicu timbulnya gerakan reformasi. Kaum reformis yang dipelopori oleh dunia kampus, yaitu mahasiswa, dosen, bahkan para rektornya, menuntut pergantian presiden, reshuffle kabinet, Sidang Istimewa MPR, dan pemilu secepatnya. Gerakan reformasi bahkan menuntut “reformasi total” di segala bidang, termasuk keanggotaan DPR MPR yang dianggap penuh dengan KKN (korupsi, kolusi, dan nepotisme). Gerakan reformasi juga menuntut pemerintahan yang bersih dari KKN.
Gerakan reformasi menuntut pembaruan lima paket undang-undang politik yang dianggap menjadi sumber ketidakadilan, yaitu:
Pada masa Orde Baru, di bidang hukum banyak terjadi ketidakadilan. Hal itu terjadi karena adanya penyimpangan dari Pasal 24 UUD 1945. Dalam hal itu kekuasaan kehakiman menurut penjelasan Pasal 24 tersebut, seharusnya memiliki kekuasaan yang merdeka, terlepas dari kekuasaan pemerintah (eksekutif). Akan tetapi, kenyataannya kekuasaan kehakiman di bawah eksekutif. Dengan demikian pengadilan sulit mewujudkan keadilan bagi rakyat, sebab hakim harus melayani kemauan penguasa. Hukum dijadikan pembenaran atas kebijaksanaan penguasa. Oleh karena itu, sering terjadi rekayasa dalam proses peradilan.
Masyarakat menghendaki adanya reformasi di bidang hukum untuk mendudukkan masalah pada posisi yang sebenarnya. Reformasi hukum perlu dipercepat mengingat kesiapan kita menyongsong era keterbukaan ekonomi dan globalisasi merupakan kesiapan materi hukum, kesiapan prosedur atau tata cara pembentukan hukum baik di dalam peraturan perundang-undangan, yurisprudensi, ajaran-ajaran hukum, dan pelbagai bentuk praktek hukum lainnya.
Perlu juga dipersiapkan aparatur pembentuk hukum, baik pembentuk peraturan perundang-undangan, maupun ahli-ahli hukum yang membangun ajaran-ajaran hukum. Di samping itu juga diperlukan kesiapan aparatur pemberi pelayanan hukum dan penegak hukum yang meliputi hakim, penyidik dan penuntut, penasihat hukum, dan konsultan hukum serta kesiapan sarana dan prasarana baik perangkat lunak maupun perangkat keras.
Untuk waktu-waktu sekarang dan mendatang tidak perlu adanya penambahan atau pengurangan lembaga atau organisasi hukum yang ada. Yang diperlukan saat ini justru mendayagunakan hukum sehingga memberikan kontribusi pada segala bidang.
Sejak tahun 1966 Indonesia di bawah Presiden Soeharto lebih berorientasi ke dalam dan memusatkan perhatiannya kepada Pengembangan orde Indonesia baru, bukan orde dunia baru. Sekalipun menjadi anggota Nonblok, namun Indonesia dianggap teman baik bagi negara-negara Barat. Anggapan itu muncul karena Indonesia anti komunis dan menjauhi blok komunis, sehingga banyak mendapat dukungan, bantuan, dan investasi modal dari negara Barat.
Berkat bantuan itu dalam waktu yang tidak lama Indonesia berhasil memulihkan kerusakan perekonomian pada masa sebelumnya dan mencapai kemajuan yang cukup menggembirakan melalui strategi pembangunannya. Hal tersebut menjadikan Indonesia disebut anak macan yang sedang tumbuh.
Namun, gambaran keberhasilan yang tampak mengesankan selama beberapa dekade segera sirna, setelah diterpa oleh badai krisis moneter bersama-sama dengan negara-negara Asia Tenggara dan Asia lainnya.
Dalam pemerintahan Orde Baru berkembang korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN), yang dilaksanakan secara terselubung maupun secara terang-terangan. Praktek KKN tersebut terjadi di dalam keanggotaan DPR, MPR, dalam dunia usaha, perbankan, peradilan, pemerintahan, dan sebagainya. KKN tersebut sudah lama berlangsung.
Akibatnya timbul tidak adanya keadilan, kesenjangan sosial semakin lebar, rusaknya sistem politik, sistem perekonomian, sistem hukum, dan sebagainya. Hal itu mengakibatkan timbulnya ketidakpercayaan rakyat terhadap pemerintah dan ketidakpercayaan luar negeri terhadap Indonesia.
Dari definisi di atas pengertian reformasi adalah susunan tatanan perikehidupan lama diganti dengan tatanan perikehidupan baru secara hukum menuju perbaikan. Dengan demikian, gerakan reformasi Indonesia pada tahun 1998 adalah suatu gerakan untuk mengadakan pembaruan dan perubahan, terutama dalam bidang politik, sosial, ekonomi, dan hukum, menuju perbaikan secara hukum.
Reformasi merupakan formulasi menuju Indonesia baru dengan tatanan baru. Hasil-hasil reformasi tidak dapat diperoleh dalam waktu yang singkat, apalagi dengan metode tambal sulam. Untuk itu perlu adanya agenda reformasi yang jelas.
Agenda reformasi yang dimaksud dilakukan dengan penentuan skala prioritas, pentahapan pelaksanaan, juga kontrol, dan pengendalian reformasi agar tepat pada tujuan dan sasaran. Reformasi yang tidak terkendali akan kebablasan dan melanggar norma hukum, serta tidak akan pernah membawa kebaikan bagi masa depan bangsa.
Hal yang mendesak adalah upaya mengatasi kesulitan rakyat banyak, khususnya tersedianya sembako (sembilan bahan pokok) dengan harga yang terjangkau oleh rakyat. Pada waktu itu harga sembako sempat melejit tinggi, bahkan orang harus antre untuk membelinya.
Melihat situasi politik dan kondisi ekonomi Indonesia yang semakin tidak terkendali, rakyat Indonesia menjadi semakin kritis, bahwa Indonesia di bawah pemerintah Orde Baru tidak berhasil menciptakan negara yang makmur, adil, dan sejahtera berdasarkan Pancasila dan UUD 1945.
Atas kesadaran itu rakyat secara bersama-sama dengan dipelopori oleh para mahasiswa dan para cendekiawan mengadakan suatu gerakan, yang dikenal sebagai Gerakan Reformasi. Tujuan Gerakan Reformasi ialah memperbarui tatanan kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara, agar sesuai dengan nilai-nilai Pancasila dan UUD 1945, baik dalam bidang ekonomi, politik, dan hukum.
Agar negara kesatuan Republik Indonesia dan tujuan nasional bangsa Indonesia dapat tercapai maka Republik Indonesia harus menggunakan dasar filosofi reformasi, yaitu Pancasila. Telah terbukti bahwa Pancasila amat ampuh dan efektif untuk mempersatukan bangsa Indonesia. Persatuan bangsa Indonesia juga penting untuk melaksanakan agenda reformasi. Agenda reformasi yang disuarakan oleh mahasiswa adalah sebagai berikut.
Yang dimaksudkan dengan jiwa reformasi adalah sebagai berikut:
Selanjutnya silahkan baca: Masa pemerintahan Habibie
Tinggalkan Balasan