Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Indonesia merintis menjadi ketua Gerakan Nonblok

Sebagai salah satu negara pemrakarsa berdirinya Gerakan Nonblok, hingga pada tahun 1990 Indonesia belum pernah menjadi ketua. Pada tahun 1987, Presiden Soeharto mengutus Wakil Presiden Umar Wirahadi Kusumah untuk menghadiri KTT Nonblok di Zimbabwe Afrika.

Umar diperintah untuk menyampaikan keinginan Indonesia untuk menjadi ketua Gerakan Non Blok. Tawaran tersebut ditolak, dengan alasan sebagai berikut :
  1. Indonesia sangat pro-Barat
  2. Invasi Indonesia atas Timor-Timur
  3. Penolakan Indonesia untuk mengijinkan PLO (Organisasi Pembebasan Palestina) membuka kantornya di Jakarta.

Peta Negara NonBlok

    Gambar Peta negara Non Blok
    Peta negara Non Blok

    3 upaya Indonesia mewujudkan keinginan menjadi ketua GNB
    Upaya untuk mendapatkan dukungan agar Indonesia menjadi ketua GNB terus ditempuh antar lain melalui langkah-langkah berikut ini.

    1. Normalisasi hubungan diplomatik dengan RRC

    Indonesia tidak dapat berbuat banyak, karena banyak negara yang bersahabat dengan Cina atau bekas Uni Soviet akan memandang Indonesia tidak sepenuhnya nonblok. Normalisasi hubungan dengan RRC akan memproyeksikan citra Indonesia benar-benar nonblok. Dengan demikian, hal itu dapat memperkuat kesempatan Indonesia untuk menjadi tuan rumah pertemuan GNB.

    Selengkapnya silahkan baca di artikel : Normalisasi hubungan Indonesia dan RRC

    2. Kunjungan ke Uni Soviet

    Selama kunjungan, Presiden Soeharto memperlihatkan rasa terima kasihnya atas bantuan Soviet kepada Indonesia selama kampanye Irian Barat. Presiden Soeharto sepakat untuk mendorong hubungan ekonomi, meskipun Indonesia tidak akan mengubah pendiriannya terhadap komunisme. Selama kunjungan tersebut, Presiden Soeharto juga mengunjungi beberapa wilayah di Uni Soviet, mulai dari Republik Uzbeck hingga Tashkent, dan Samarkand.

    Wilayah-wilayah itu merupakan tempat bersejarah bagi umat Islam. Setelah itu, Presiden Soeharto dan delegasinya baru mengunjungi Leningrand dan Moskow. Kunjungan Presiden Soeharto ke Republik Islam dan tempat-tempat suci Islam dapat dilihat sebagai isyarat yang ditujukan kepada dunia Islam yang bertujuan untuk mendapatkan dukungan dari negara-negara Islam di Gerakan Nonblok.

    3. Jakarta Informal Meeting (JIM)

    Indonesia ingin memperlihatkan kepemimpinannya di bidang regional dengan berupaya membantu memecahkan masalah Kamboja. Pada tahun 1980, Presiden Soeharto mengunjungi Perdana Menteri Hussein Onn di Malaysia. Dalam kunjungan tersebut

    Doktrin Kuantan dicanangkan untuk mendesak Vietnam meninggalkan Kamboja. Sebagai kompensasinya, Vietnam akan memperoleh bantuan ekonomi. Thailand sangat tidak berkenan, karena dianggap mengorbankan kepentingan ASEAN dan secara diam-diam Doktrin Kuantan ditinggalkan.

    Lebih jauh mengenai doktrin tersebut silahkan baca di artikel : Tentang Doktrin Kuantan

    Pada tahun 1988, 1989, dan 1990, Indonesia menggagas suatu forum untuk mencari pemecahan atas masalah Kamboja. Forum tersebut diberi nama Jakarta Informal Meeting yang disingkat JIM, atau dalam bahasa Indoensia di sebut Pertemuan Informal Jakarta.

    JIM yang diselenggarakan di Bogor dan Jakarta ini keduanya tidak sukses, dalam arti tidak ada kesepakatan dari faksi-faksi yang bertikai di Kamboja. Namun, upaya ini membuat Indonesia menjadi perhatian internasional.

    Mungkin anda belum mengerti masalah Kamboja yang dimaksud? Silahkan baca di : Konflik saudara di Kamboja

    Catatan :
    • Faksi dalam bahasa Belanda disebut factie, berarti "bagian". Maksudnya sebuah bagian atau kelompok politik baik dalam parlemen maupun di luar parlemen.
    • Faksi di parlemen berbeda dengan fraksi politik yang ada di parlemen. Secara umum, Fraksi politik adalah suatu partai yang menduduki kursi di parlemen. Contoh fraksi PDIP menduduki 150 kursi dari 500 kursi DPR.
    • Kubu-kubu dalam perang saudara, perang sipil, juga bisa disebut faksi.

    Referensi : Wikipedia

    Akhirnya terobosan dalam masalah Kamboja terjadi pada bulan Oktober 1991, yaitu ketika Pakta Perdamaian ditandatangani di Paris. Penandatanganan Pakta Perdamaian di Paris diketuai oleh Indonesia dan Perancis. Hal ini menunjukkan bahwa Indonesia memberikan partisipasi dalam proses penyelesaian masalah Kamboja.

    Kunjungi: Sejarah Dunia Lainnya