Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Simposium Indonesia Negara Hukum 1966

Simposium Indonesia negara Hukum 1966. Untuk melakukan perbaikan politik di dalam negeri Indonesia setelah peristiwa G-30-S/PKI diadakan simposium kebangkitan semangat '66 pada tanggal 6 - 9 Mei 1966 di Universitas Indonesia yang bekerja sama dengan KAMI dan KASI. Simposium tersebut khusus membahas bidang politik dalam negeri dengan mengambil tema Indonesia Negara Hukum.

Penyimpangan Asas Negara Hukum

Dalam pembahasan tersebut diingatkan bahwa telah terjadi banyak penyimpangan dari asas serta norma yang berlaku dalam negara hukum. Juga dinyatakan bahwa dalam pelaksanaan peraturan hukum yang telah ditetapkan tidak mencerminkan jiwa Pancasila. Penyimpangan yang dilakukan diantaranya Penetapan Presiden No. 2 tahun 1959 tentang MPRS.

Dalam simposium tersebut pemerintah disarankan untuk mengembalikan kewibawaan negara Republik Indonesia sebagai negara hukum melalui usulan tentang pemurnian pelaksanaan UUD 1945, penghentian pengeluaran penpres baru, dan peninjauan kembali semua penpres yang telah dikeluarkan. Diusulkan pula tentang adanya jaminan yang cukup terhadap pengakuan hak asasi manusia dalam menciptakan dan menegakkan hukum.

Simposium Indonesia Negara Hukum 1966

Upaya-upaya MPRS melaksanakan pemurnian UUD 1945

Dalam rangka menjaga kemurnian pelaksanaan UUD 1945, MPRS melakukan upaya-upaya sebagai berikut :
a. Jabatan pimpinan DPRGR dipisahkan dari jabatan eksekutif, sehingga pimpinan DPRGR tidak menduduki jabatan menteri.

b. Pada tanggal 20 Juni sampai dengan 5 Juli 1966 mengadakan Sidang Umum IV MPRS yang mengeluarkan beberapa ketetapan, antara lain sebagai berikut :
  1. Ketetapan MPRS No. IX/MPRS/1966 tentang Pengesahan dan Pengukuhan Supersemar.
  2. Ketetapan MPRS No. X/MPRS/1966 yang mengatur Kedudukan Lembaga-Lembaga Negara, baik di Tingkat Pusat maupun pada Tingkat Daerah.
  3. Ketetapan MPRS No. XII/MPRS/1966 tentang Politik Luar Negeri Bebas Aktif.
  4. Ketetapan MPRS No. XX/MPRS/1966 tentang Tata Urutan Perundang-Undangan di Indonesia.
  5. Ketetapan MPRS No. XXV/MPRS/1966 tentang Pembubaran PKI dan Pernyataan PKI serta Ormas-Ormasnya sebagai Organisasi Terlarang di Indonesia.

Pembentukan Kabinet Ampera

Selain ketetapan tersebut, dikeluarkan juga Ketetapan MPRS No. XIII Tahun 1966 tentang Pembentukan Kabinet Amanat Penderitaan Rakyat (Ampera). Kabinet Ampera diresmikan pada tanggal 28 Juli 1966 untuk melaksanakan Tritura di bidang politik, ekonomi, dan sosial. Dengan masa kerja dua tahun Kabinet Ampera memiliki program kerja yang disebut dengan Caturkarya yang meliputi hal-hal sebagai berikut :
  1. Memperbaiki kehidupan rakyat terutama di bidang sandang dan pangan.
  2. Melaksanakan pemilihan umum selambat-lambatnya tanggal 5 Juli 1968.
  3. Melaksanakan politik luar negeri yang bebas dan aktif untuk kepentingan nasional.
  4. Melanjutkan perjuangan antiimperialisme dan kolonialisme dalam segala bentuk dan manifestasinya.

Susunan Kabinet Ampera

Adapun tugas Kabinet Ampera disebut Dwidarma Kabinet Ampera yang meliputi menciptakan stabilitas ekonomi dan menciptakan stabilitas politik. Berikut adalah susunan Kabinet Ampera :
Pimpinan : Presiden Soekarno
Pembantu pimpinan :
  1. Letnan Jenderal Soeharto (Menteri Utama Bidang Pertahanan dan Keamanan).
  2. Adam Malik (Menteri Utama Bidang Politik).
  3. K.H. Idham Khalid (Menteri Utama Kesejahteraan Rakyat).
  4. Sri Sultan Hamengku Buwono IX (Menteri Ekonomi dan Keuangan).
  5. Sanusi Haryadinata (Menteri Utama Perindustrian dan Pembangunan.
Anggota Kabinet : 24 Menteri

Dalam pembentukan Kabinet Ampera yang disempurnakan tanggal 11 Oktober 1966, Presiden Soekarno tetap sebagai kepala negara, sedangkan Letnan Jenderal Soeharto diangkat sebagai kepala pemerintahan. Dengan begitu telah terjadi dualisme kepemimpinan. Hal tersebut mengakibatkan perjalanan kabinet tidak lancar dan tidak menguntungkan stabilitas nasional.

Selanjutnya baca : Nawaksara pidato pertanggungjawaban presiden Soekarno

Demikian pembahasan mengenai Simposium Indonesia Negara Hukum 1966 yang membahas pilitik dalam negeri Republik Indonesia.