Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Eksistensialisme Sartre dalam sastra

Biografi. Kematian ayahnya dan pernikahan kedua ibunya telah membuat Sartre tidak menyukai lingkungan borjuis dan segala kebiasaannya. Ketidaksukaan tersebut berubah menjadi perasaan muak dan keinginan untuk memberontak. Dan pemberontakan itulah yang menginspirasi karya-karya sastranya.

Pada tahun 1938, ia menulis novel berjudul La Nausee yang berisi ide-ide eksistensialisme dan menjadi salah satu karyanya yang terkenal. Nausee bercerita tentang Roquentin, seorang peneliti yang patah semangat di sebuah kota, yang jika diamati memiliki kemiripan dengan Le Havre. Roquentin menyadari seutuhnya akan fakta bahwa benda-benda mati serta situasi khayalan merupakan dua hal yang sangat berbeda dengan eksistensi dirinya.

Foto Eksistensialisme Sartre dalam sastra
Sartre

Novelnya yang lain adalah Le Mur. Novel ini menekankan pada aspek kesadaran di mana manusia mengenali diri mereka sendiri dan adsurditas dari usaha-usaha mereka untuk menghadapi diri mereka sendiri secara rasional.

Sementara itu, karya Sartre yang berjudul Kata-Kata merupakan sebuah nostalgia masa kecil. Dalam karya itu ia bertanya tentang apa itu sastra. Dan ia pun memisahkan antara prosa dan puisi. Prosa dianggap sebagai peranti khusus untuk menyuarakan kebenaran, sedangkan puisi bersanding dengan musik, lukisan, dan patung yang menghindari pemakaian bahasa.

Karya Sartre, baik sastra maupun filsafat banyak bergulat dengan dimensi eksistensialisme, sebuah aliran filsafat yang memfokuskan persoalan seputar eksistensi, khususnya eksistensi manusia. Menurut Donny Gahral Ardian, Sartre menganggap esensi manusia tidak bisa dijelaskan seperti halnya esensi manusia yang tidak bisa dijelaskan seperti halnya esensi benda-benda buatan tangan manusia (manufaktur).

Contohnya, ketika seseorang melihat sebilah pisau dapur, orang tersebut langsung dapat memahami bahwa pisau dibuat oleh seseorang yang memiliki konsep di kepalanya tentang tujuan dan prosedur pembuatan pisau tersebut.

Konsep eksistensialisme Sartre lebih berpusat pada penegasan akan Tuhan. Menurutnya, Jika Tuhan tidak ada, otomatis manusia pun bebas dari beban kodratnya, karena tidak ada Tuhan yang terus-menerus yang mengawasinya.

Manusia adalah semata-mata apa yang dibentuknya sendiri dan memiliki derajat yang lebih tinggi dari makhluk lainnya, karena tidak memiliki kodrat yang sudah ditentukan sebelumnya. Intinya, manusia adalah makhluk yang bebas untuk mewujudkan esensinya sendiri.

Eksistensialisme Sartre lebih merujuk pada kebebasan. Menurutnya, "Human is condemned to be free", manusia dikutuk untuk bebas. Dalam kebebasan itu, manusia bertindak. Eksistensialisme menekankan kebebasan universal manusia, di mana batasan kebebasan itu adalah kebebasan orang lain.

Pandangan kebebasan Sartre ini memang cukup ekstrem, karena relasi manusia dengan orang lain justru menimbulkan konflik. Namun demikian, tetap ada unsur positif dari pandangan tersebut.

Unsur positif dari kebebasan yang dimaksudkan Sartre tersebut terletak pada eksistensi manusia, keberadaan manusia yang sejati, yang merupakan produk dari perbuatan-perbuatan bebas manusia. Sartre mengungkapkan bahwa menjadi diri kita sendiri hanya mungkin jika kita memilih sendiri dan menentukan sendiri bentuk eksistensi kita.

Walaupun kesadaran atau kebebasan tersebut sepertinya dibebankan pada manusia yang bukan karena pilihannya, manusia tetap memiliki kebebasan yang sebebas-bebasnya untuk mengubah situasi tersebut melalui perbuatan dan usaha yang dipilih serta ditentukan oleh diri manusia, misalnya berupa lingkungan yang uruk dan keras, cacat tubuh, ataupun peperangan, justru menjadi prasyarat bagi kebebasan.

Kebebasan tindak mungkin terwujud tanpa situasi-situasi yang sudah tersedia atau situasi-situasi yang tidak dipilihnya sendiri.

Sartre mendedikasikan hidupnya untuk mengungkap apakah manusia itu. Dedikasinya itu terbukti dengan dihasilkannya banyak tulisan tentang manusia, tidak hanya dalam bidang filsafat namun juga dalam karya novel, roman, drama, dan sebagainya.

Karya-karyanya meyakinkan manusia bahwa mereka adalah makhluk yang menakjubkan. Manusia memiliki kesadaran yang sebebas-bebasnya untuk memaknai keberadaan diri mereka sendiri di dunia.

Lewat karya-karyanya, Sartre mengajak manusia untuk menyadari bahwa kebebasan yang dimiliki manusia sungguh-sungguh absolut. Gagasannya tentang kebebasan menjadikan dirinya dipandang sebagai seorang ateis.

Ingin mengenal Sartre lebih jauh? Silahkan baca Biografi singkat Jean Paul Sartre

Sartre mengatakan : "Seandainya Tuhan ada, tidak mungkin saya bebas". Ia memandang Tuhan sebagai Tuhan yang Maha tahu. Dia mengetahui segala sesuatu sebelum ia (Sartre) melakukan sesuatu, sehingga tidak ada peluang bagi kreativitas kebebasan manusia.

Demikian sekilas mengenai Eksistensialisme Sartre dalam sastra, semoga menambah pengetahuan kita semua.