Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Mengapa Mataram pecah menjadi 4?

Pendiri Kerajaan Mataram Islam

Pendiri Kerajaan Mataram adalah Sutawijaya, yang memerintah dari tahun 1575 - 1601 Masehi. Penguasa selanjutnya adalah Masjolang atau Penembahan Sedo Krapyak, yang memerintah dari tahun 1601 -1613 Masehi. Ia terus melakukan penaklukan daerah-daerah pantai dan sekitarnya. Ia gugur dalam usaha menyatukan Kerajaan Mataram dan dimakamkan di daerah Krapyak Yogyakarta.

Raja Mataram Islam berikutnya adalah Sultan Agung Hanyokrokusumo, yang memerintah dari tahun 1613 - 1645 M. Ia adalah raja terbesar Kerajaan Mataram yang mempunyai cita-cita menyatukan Pulau Jawa.

Akan tetapi, semangat bahari mulai melemah, sehingga pelayaran dan perdagangan menjadi mundur. Pada tahun 1628 - 1629, Sultan Agung berusaha menguasai Batavia, ia menginginkan pasukan yang dipimpin oleh Baurekso dan Adipati Ukur serta Suro Agul-Agul, namun gagal. Sultan Agung wafat pada tahun 1645 M dan di makamkan di Imogiri.

Belanda Mengusik Mataram

Sultan Agung digantikan putranya yang bergelar Amangkurat I. Pada masa pemerintahannya, Kerajaan Mataram menjalin hubungan dengan Belanda dan mengizinkan pendirian benteng di kerajaan Mataram.

Pendirian benteng dan tindakan sewenang-wenang Belanda menyulutkan rasa tidak puas di kalangan semua pihak, diantaranya Pangeran Trunojoyo dari Madura, dibantu oleh bupati di daerah pesisir pantai melakukan pemberontakan. Dalam peperangan Amangkurat I terluka dan di larikan ke Tegal Wangi yang kemudian meninggal di sana. Pemberontakan berhasil dipadamkan Belanda.

Selengkapnya tentang perlawanan Trunojoyo silahkan baca di Perlawanan Trunojoyo terhadap VOC

Perjanjian Giyanti

Pengganti Amangkurat I adalah Amangkurat II, yang memerintah tahun 1677 - 1703 M. Belanda semakin memperluas kekuasaannya, Amangkurat II pun menyingkir dan melarikan diri ke Ibu Kota Kerajaan di desa Wonokerto yang diberi nama Kartasura. Amangkura II meninggal pada tahun 1703 M. Sepeninggal Amangkurat II, berdasarkan Perjanjian Giyanti maka kerajaan Mataram dibagi menjadi dua, yaitu Kesultanan Yogyakarta dan Kasunanan Surakarta.

Selengkapnya mengenai isi Perjanjian Giyanti silahkan baca di artikel sejarah Kerajaan Mataram Islam

Kesultanan Yogyakarta diperintah oleh Raja Mangkubumi yang diberi gelar Hamengkubuwono I, sedangkan Kasuhunan Surakarta diperintah oleh Susuhunan Pakubuwono II.

Perjanjian Salatiga

Pada tahun 1757, berdasarkan Perjanjian Salatiga, Kerajaan Mataram dibagi menjadi tiga, yaitu Kesultanan Yogyakarta, Kasunanan Surakarta dan Mangkunegaran. Daerah Mangkunegaran diperintah oleh Mas Said yang diberi gelar Pangeran Adipati Arya Mangkunegaran.

Pada tahun 1813 Kesultanan Yogyakarta dibagi menjadi dua kerajaan, yaitu kesultanan Yogyakarta dan Kerajaan Pakualaman, yang diperintah oleh Paku Alam yang semula adalah Adipati Kesultanan Yogyakarta.

Dengan demikian Kerajaan Mataram dibagi menjadi empat kerajaan kecil, yaitu Kesultanan Yogyakarta, Kasunanan Surakarta, Kerajaan Mangkunegaran dan Kerajaan Pakualaman.

Kebudayaan kejawen tumbuh, yang merupakan akulturasi kebudayaan asli Hindu, Buddha dan Islam. Misalnya upacara Grebeg, yaitu pemujaan roh nenek moyang berupa kenduri gunungan yang merupakan tradisi zaman Majapahit. Perayaan ini biasanya jatuh pada hari besar Islam sehingga dikenal Grebeg Syawal dan Maulid.