Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Ekonomi Terpimpin zaman Kalasakti

Struktur ekonomi Indonesia pada waktu Demokrasi Terpimpin menjurus pada sistem etatisme, yaitu segala-galanya diatur dan dipegang oleh pemerintah. Kegiatan-kegiatan ekonomi banyak diatur oleh peraturan-peraturan pemerintah, sedangkan prinsip-prinsip ekonomi banyak yang diabaikan. Akibatnya, defisit dari tahun ke tahun meningkat 40 kali lipat.

Dari 60,5 miliar rupiah pada tahun 1960 menjadi 2.514 miliar rupiah pada tahun 1965, sedangkan penerimaan negara pada tahun tersebut sebanyak 53.6 miliar rupiah. Mulai bulan Januari sampai dengan Agustus 1966, pengeluaran negara menjadi 11 miliar rupiah, sedangkan penerimaan negara hanya 3,5 miliar rupiah.

Defisit yang semakin meningkat ini ditutup dengan pencetakan uang baru tanpa perhitungan matang. Akibatnya, menambah berat angka inflasi.

Penurunan Nilai Uang

Dalam rangka membendung inflasi dan untuk mengurangi jumlah uang yang beredar di masyarakat, maka pada tanggal 25 Agustus 1959 pemerintah mengumumkan keputusannya tentang penurunan nilai uang (devaluasi) sebagai berikut :
  1. Uang kertas pecahan bernilai Rp 500,00 menjadi Rp 50,00
  2. Uang kertas pecahan bernilai Rp 1.000,00 menjadi Rp 100,00
  3. Pembekuan semua simpanan di bank yang melebihi Rp 25.000,00

Demokrasi Terpimpin zaman Kalasakti
Namun, usaha pemerintah ini tidak mampu mengatasi kemerosotan ekonomi yang semakin jauh, terutama perbaikan dalam bidang moneter.

Deklarasi Ekonomi

Pada tanggal 28 Maret 1963 dikeluarkan landasan baru bagi ekonomi secara menyeluruh, yaitu Deklarasi Ekonomi (dekon). Dekon dinyatakan sebagai dasar ekonomi Indonesia yang menjadi bagian dari strategi umum revolusi Indonesia.

Tujuan dibentuknya Dekon adalah untuk menciptakan ekonomi yang bersifat nasional, demokratis, dan bebas dari sia-sia imperialisme untuk mencapai  tahap ekonomi sosialis Indonesia dengan cara terpimpin.

Dalam pelaksanaannya, Dekon mengakibatkan stagnasi dalam perekonomian Indonesia. Kesulitan-kesulitan ekonomi semakin mencolok. Pada tahun 1961-1962 harga barang-barang pada umumnya naik 400%. Politik konfrontasi dengan Malaysia dan negara-negara Barat semakin memperparah kemerosotan ekonomi Indonesia.

Devaluasi Mata Uang

Pada tanggal 13 Desember 1965, melalui penetapan Presiden No. 27 tahun 1965, diambillah langkah devaluasi dengan menjadikan uang senilai Rp 1.000,00 menjadi Rp 1,00. Sehingga uang rupiah baru semestinya bernilai 1.000 kali lipat uang lama. Akan tetapi, di dalam masyarakat uang rupiah baru hanya dihargai 10 kali lipat lebih tinggi uang rupiah baru. Akibatnya, tindakan moneter pemerintah menekan inflasi ini malah meningkatkan angka inflasi.

Pada masa demokrasi terpimpin, banyak proyek mercusuar yang dilaksanakan oleh pemerintah. Akibatnya pemerintah harus mengadakan pengeluaran-pengeluaran yang sangat besar, sehingga harga-harga kebutuhan pokok makin melambung tinggi.

Tingkat harga paling tinggi terjadi pada tahun 1965, yaitu sebesar 200-300% dari tahun sebelumnya, seiring dengan ekspor yang semakin lesu dan impor yang dibatasi karena lemahnya devisa.

Penpres No. 7 1965

Dalam rangka pelaksanaan ekonomi terpimpin, Presiden Soekarno merasa perlu untuk mempersatukan semua bank negara ke dalam satu bank sentral. Untuk itu, dikeluarkanlah Penpres No. 7 1965 tentang Pendirian Bank Tunggal Milik Negara.

Tugas bank tersebut sebagai bank sirkulasi bank sentral dan bank umum. Untuk mewujudkan tujuan itu maka dilakukan peleburan bank-bank negara seperti Bank Koperasi dan Bank Nelayan (BKTN), Bank Umum Negara, Bank Tabungan Negara, dan Bank Negara Indonesia ke dalam Bank Indonesia.

Selanjutnya, dibentuklah Bank Negara Indonesia yang terbagi dalam beberapa unit dengan pekerjaan dan tugas masing-masing.

Demikianlah kondisi perekonomian Indonesia pada zaman Kalasakti. Melalui berbagai kebijakan ekonomi yang diambil pemerintah tersebut, pemerintah telah membuktikan ramalan Jayabaya tentang banyaknya orang ulah kesaktian sekaligus merupakan catatan sejarah bagi negeri ini.