Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Sejarah Awal Adanya Gaya Gaun Pengantin Di Dunia

Sejarah Awal Adanya Gaya Gaun Pengantin Di Dunia - Gaun pengantin merupakan sebuah busana yang sangat diidam-idamkan bagi para gadis sebagai calon mempelai wanita setelah ia menjadi dewasa. Tahu tidak kenapa setiap pernikahan wanita identik dengan Gaya Gaun Pengantin Di Dunia, berikut simak Sejarah Awal Adanya Gaya Gaun Pengantin Di Dunia.

Pada abad pertengahan, warna baju dan jenis bahannya digunakan sebagai penanda status sosial seseorang (Aini, 2009). Hanya kaum kerajaan dan bangsawan saja yang bisa menggunakan bahan sutera, satin, beludru, renda, dan menggunakan warna-warna “grandeur”, seperti emas, ungu dan biru.

Hal ini karena pada masa itu, teknik penganyaman benang, teknik ekstraksi zat pewarna kain dan proses pewarnaan kain dilakukan secara manual dan karena bahan-bahan yang digunakan pun tergolong sulit diperoleh sehingga kain-kain indah tersebut tidak dapat diproduksi secara massal.

Sejarah Awal Adanya Gaya Gaun Pengantin Di Dunia

Tak pelak pada masa itu, hanya gadis-gadis bangsawan yang akan merayakan pesta pernikahan mereka yang bisa mengenakan baju dan perhiasan berwarna “grandeur” tadi. Adapun gadis-gadis dari kasta sosial yang lebih rendah hanya bisa berusaha meniru bentuk baju dan penampilan para bangsawan yang menjadi trendsetter era itu. Jarang sekali mereka bisa menggunakan baju pernikahan dengan warna “grandeur” tersebut karena mahal.

Putih tetap tidak menjadi warna pilihan untuk gaun pengantin sampai tahun 1840, di mana Ratu Victoria mengenakan gaun pengantin putih saat menikah dengan Pangeran Albert of Saxe-Coburg (Yulis, 2010). Statusnya sebagai keluarga kerajaan sekaligus simbol gadis bangsawan ternama, membuat gaun pengantin putih mewah berhiaskan penuh renda Honiton Lace yang dikenakan oleh Ratu Victoria itu menjadi trendsetter berikutnya.

Booming-nya gaun pengantin ala Ratu Victoria yang memiliki ciri khas gaun yang membentuk ballgown, warnanya putih kadang broken white, dan menonjolkan pinggang serta pinggul sang pengantin wanita itu menyebabkan naiknya permintaan terhadap bahan-bahan gaun putih mewah. Hal ini berdampak pada para pembuat bahan dan renda gaun pengantin kewalahan memproduksinya, karena di masa itu renda putih juga masih dibuat secara manual.

Belum lagi gaun putih termasuk sulit dirawat karena kotoran yang menempel akan tampak jelas di situ. Akhirnya beberapa pengantin dari kelas sosial yang lebih rendah kembali mengenakan gaun pengantin dengan warna selain putih, kecuali warna hitam (warna berduka) dan warna merah menyala (warna yang kala itu, identik dengan the brothel house).

Sejak era Victorian itulah maka tradisi mengenakan gaun pengantin berwarna putih yang menyimbolkan kesucian itu menjadi gaya yang selalu ditiru oleh para wanita. Meski kemudian tidak hanya warna putih plain saja yang dipilih, tetapi juga bisa dengan nuansa gradasi putih seperti creme, champagne, broken-white, off white and ivory.

Sampai sekarang pun yang disebut-sebut sebagai era globalisasi, putih tetap lestari di kalangan para wanita sebagai pilihan utama warna baju pengantin. Putih seolah menjadi warna privilege dan memiliki cap “For Bride-Only” yang menyertainya untuk menjadi warna baju pengantin para pengantin wanita yang ingin tampil beda dan anggun di hari pernikahannya.

Bahkan tidak hanya gaun pengantin modern ala Barat saja yang memakai putih sebagai “warna resmi”; di beberapa negara, baju pernikahan bernuansa adat seperti kebaya, baju kurung, kimono dan cheongsam pun turut mengadopsi warna putih. Sebuah pantun Inggris kuno berikut ini mencoba menggambarkan “nasib” yang dibawa oleh warna baju pengantin:

“Married in white, you will have chosen all right. Married in grey, you will go far away. Married in black, you will wish yourself back. Married in red, you’ll wish yourself dead.  Married in blue, you will always be true.  Married in pearl, you’ll live in a whirl. Married in green, ashamed to be seen. Married in yellow, ashamed of the fellow. Married in brown, you’ll live out of town. Married in pink, your spirits will sink.”

Perkembangan Gaya Gaun Pengantin
Dari sejarahnya, perkembangan gaya gaun pengantin ini kemudian tidak hanya meliputi perubahan orientasi dalam hal gaya berpakaian, tapi juga norma dan adat-adat yang nantinya akan membentuk sebuah budaya yang berujung pada peradaban. Terutama pertentangan antara budaya Timur dan Barat merupakan faktor yang menarik untuk dijadikan bahasa mengenai hegemoni dalam fenomena ini.

Fenomena ini menjadi komoditas di era modern seperti sekarang, ditambah peran media yang ikut menyebarkan virus kapitalis, menyuburkan hal ini. Banyak media yang mengkhususkan diri membahas perkembangan fashion juga gaya hidup.

Kemunculan media seperti ini membuat masyarakat menganggap wajar akan adanya kesadaran mereka dalam cara berpakaian. Kewajaran yang terbentuk, baik di alam bawah sadar maupun secara sadar, merupakan bukti kekuatan hegemoni yang dibangun oleh produsen-produsen merek pakaian ternama dunia.

Sebagaimana dipaparkan sebelumnya mengenai gaya, Nicos Hadjinicolaou menggambarkan gaya atau ’ideologi visual’ sebagai ’bentuk khusus dari ideologi menyeluruh suatu kelas’ (Walker, 2010: 169). Jika seseorang dapat memahami alasan untuk perubahan stalistik sepanjang waktu, dia juga memperoleh kunci untuk hukum evolusi kebudayaan.

Pernyataan Hadjinicolaou ini nyatanya mengenai sasaran yang tepat saat ditempatkan pada  perkembangan gaun pengantin sebagai salah satu artefak fashion. Melalui paparan sejarahnya hingga perkembangannya di era globalisasi seperti saat ini, trend gaun pengantin saat ini tetap banyak menampilkan romantisme negeri dongeng yang kaya akan detail.

Meski di Indonesia sendiri, beberapa individu tetap memilih mengenakan pakaian adat tradisional masing-masing daerah untuk dikenakan saat acara resepsi pernikahan mereka, namun tidak sedikit pula yang menambahkan gaun pengantin putih ala Viktorian sebagai salah satu kostum yang dikenakan ketika resepsi pernikahan mereka.

Nilai internasionalisme seolah menjadi bagian yang melekat pada desain yang ringan melayang serta sentuhan kain yang transparan melengkapi koleksi desain yang kini banyak dikeluarkan para desainer untuk gaun pengantin ala Viktorian. Warna-warna klasik seperti ivory dan champagne masih menjadi favorit, sedangkan siluet gaun mengarah kepada cutting yang lebih berani.

Bahkan bagi mereka yang kurang berani memakai baju terbuka karena kesan seksi pun dapat memodifikasikannya dalam siluet tertutup yang jauh dari kesan mengumbar. Modifikasi terbaru yang kini menjadi trend adalah menggabungkan gaya gaun pengantin ala Viktorian dengan penggunaan jilbab atau gaya Timur Tengah (Arab/Turki) atau yang kini banyak disebut sebagai gaun pengantin muslimah.

Walau terjadi perubahan namun kesan classy dan anggun masih tetap melekat pada setiap desainnya. Begitu pula bagi yang ingin memangkas gaun menjadi lebih pendek atau tidak menggelembung, semua bisa dikreasikan sesuai keinginan sang calon pengantin wanita.

Dari semua ini dipahami bahwa, kalaupun gaya gaun pengantin putih ala Barat tersebut menghegemoni ke seluruh wanita di dunia, namun mereka tetap bisa secara cerdas memilih bahkan tak ragu untuk memodifikasi gaya gaun tersebut sehingga sesuai dengan hati dan pikiran mereka.

Modifikasi ini artinya, dari gaya utama gaun pengantin Viktorian itu, masih bisa ditambah atau dikurangi baik dari segi model, ukuran, bentuk, ornamen, maupun aneka kreasi desain lain. Hal ini karena tentunya dunia mode atau fashion akan selalu mengalami perubahan, namun tak pelak ada sebuah sistem yang akan terus mempengaruhi kelas masyarakat yang lain untuk menerima nilai-nilai moral, politis dan kultural.

Konsep ini mengasumsikan sebuah konsen sederhana oleh mayoritas populasi untuk arah tertentu yang diusulkan oleh mereka dengan kekuatan. Produsen-produsen pakaian terkemuka dunia ini memang tidak begitu saja menghegemoni masyarakat. Mereka membentuk sebuah sistem yang disebut konglomerasi.

Mereka bekerjasama dengan media, untuk menyebarkan pola pikir tersebut. Media merupakan alat yang paling tepat untuk menyebarkan pemikiran produsen pakaian dalam menghegemoni masyarakat. Dewasa ini semakin menjamur media yang mengkhususkan diri membahas mengenai perkembangan fashion, dan  mereka sebagian besar memiliki tingkat penetrasi yang tinggi ke berbagai belahan dunia.

Baca juga: Sejarah Awal Adanya Perkembangan Sabun Mandi

Referensi: http://galerypernikahan.blogspot.com/2013/02/sejarah-gaun-pengantin.html
Supriyadi Pro
Supriyadi Pro Nama asli saya Supriyadi dan populer Supriyadi Pro. Saya seorang Expert wordpress developer freelancer, content writer, editor. Memiliki minat besar pada dunia teknologi, sains, seni budaya, social media, dan blogging. Saya kelahiran suku Jawa, di Wonogiri, Jawa Tengah yang ahli bahasa Jawa dan seni gamelan. Silahkan hubungi saya lewat laman yang telah disediakan atau kunjungi website profil saya di https://supriyadipro.com